STRATEGI
KEBUDAYAAN MINAHASA
SEBAGAI
KAPITAL SOSIAL TOU MINAHASA
Oleh
Max G. Ruindungan
A. Pendahuluan
Kajian atau lebih tepatnya analisis kebudayaan
terhadap masalah-masalah pembangunan, apalagi menyangkut segi aktual kehidupan
masyarakat seperti ekonomi, tenaga kerja dan kemiskinan, memang sangat dibutuhkan
untuk mengungkap ketahanan sistem sosial budaya, adat dan
kearifan lokal dalam menghadapi kepungan budaya
kontemporter: konsumerisme, hedonisme yang dihasilkan oleh peradaban
globalisme dan kapitalisme internasional yang merasuk dan mulai membongkar
sistem dan tatanan budaya lokal yang
sifatnya self contained
Kebutuhan untuk menganalisis berbagai masalah “pembangunan” dari sudut pemikiran kebudayaan tidak semata-mata sebagai suatu domain nilai dan pengetahuan yang menghasilkan metode dan alat analisis tertentu, melainkan corak pendekatan berfikir kebudayaan yang lebih bersifat holistik merupakan strategi berfikir yang agaknya efektif untuk memberi eksplanasi yang cermat terhadap fenomena sosial. Dan hal ini sejalan dengan prinsip yang dianut dalam pemikiran kebudayaan bahwa tidak ada suatu sektorpun dalam kehidupan umat manusia yang dapat diisolasi (sekalipun hanya metodologis) dan ditempatkan sebagai sektor yang dependen ataupun independen terhadap sektor yang lain (Kleden, 1987: 8).
Makalah ini sesuai tujuannya mencoba mendeskripsi upaya-upaya, sosok, dan mutu perilaku kehidupan, dan hasil-hasil perilaku sebagai proses kebudayaan, berdasarkan kerangka teori kebudayaan yang diajukan oleh Kuntjaraningrat dan St. Takdir Alisyahbana. Atas dasar deskripsi itu, dikemukakan pemikiran-pemikiran strategis mengenai bagaimana seyogyanya prospek kebudayaan dari segi arah, orientasi, kebijakan dan kearifannya berdasarkan kerangka strategi kebudayaan Galtung (1971) dan Soerjanto Poespowardojo (1989).
B. Modernisme Minahasa dari perspektif wujud dan isi kebudayaan
Wujud kebudayaan
Untuk keperluan analisis kebudayaan,
Kuntjaraningrat mengajukan (1985) dua dimensi, yaitu dimensi wujud dan dimensi
isi kebudayaan. Dimensi wujud meliputi
(1) wujud sebagai suatu kompleks
gagasan, konsep dan pemikiran manusia, (2) wujud sebagai suatu kompleks
aktivitas, dan (3) wujud sebagai benda (hasil, produk).
Apabila dimensi wujud kebudayaan ini dipakai untuk mengevaluasi dan menguji mutu pembangunan sebagai proses
kebudayaan, maka muncul tiga issues budaya pembangunan di Minahasa yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu:
Ø
Apakah
gagasan-gagasan dan konsep kebudayaan sebagai infrastruktur pembangunan di
Minahasa baik secara kualitatif maupun kuantitatif te-lah
cukup memadai berdasarkan standar (nasional, dan internasional). Gagasan
itu dapat meliputi sistem pengetahuan, sistem teknologi, sistem ekonomi, organisasi
sosial (cq. sistem pemerintahan),
agama, kesenian, dan bahasa.
Apakah kita memiliki
gagasan-gagasan ekonomi yang unggul untuk mengatasi pengangguran dan
kemiskinan; seberapa banyak dan bermutunya hasil-hasil riset perguruan tinggi
di daerah ini dalam upaya pemulihan ekonomi dan kehidupan sosial masyarakat, etc,
Ø
Apakah
aktivitas-aktivitas, interaksi, dan
relasi-relasi sosial telah menunjuk-kan ukuran-ukuran mutu pelayanan, keteraturan,
kelayakan, keharusan dan kepatutan
sosial. Seberapa bermutunya aktivitas-aktivitas pemerintahan
dalam pelayanan publik sebagai aktivitas budaya telah menampilkan budaya
kinerja yang efisien, efektif, dan produktif, etc.
Ø
Apakah
hasil-hasil karya budaya pembangunan
baik secara individual maupun kolektif itu
menunjukkan ciri-ciri yang bermutu, bernilai, bermakna, unggul dan memberi kepuasan. Apakah produk-produk pembangunan sebagai produk budaya, misalnya
jalan, jembatan, gedung, dan berbagai sarana
umum telah dikerjakan dengan
benar, layak, dan patut sesuai dengan intensi, motivasi, dan syarat-syarat
pembangunannya, etc.
Isi kebudayaan
Untuk menilai lebih lanjut seberapa jauh
usaha-usaha pembangunan, pemerintahan dan kemasyarakatan telah memajukan peradaban hidup masyarakat di
tanah Minahasa, maka unsur-unsur isi
kebudayaan dapat dipakai sebagai
ukuran. Malinowski (1944) mengajukan 7 unsur isi kebudayaan, yaitu (1) bahasa, (2) sistem teknologi, (3) sistem
mata pencaharian atau sistem ekonomi, (4) organisasi sosial, (5) sistem
pengetahuan, (6) religi, dan (7)
kesenian. Dengan menggunakan teori Ralph Linton (1936) tentang covert culture (kebudayaan yang tidak
tampak), dan overt culture (kebudayaan yang tampak, kebudayaan
fisik), maka Kuntjaraningrat (1985)
membuat satu kerangka teoretis tentang kebudayaan sebagaimana dalam gambar 1 di
bawah ini. Dalam gambar ini, Kuntjaraning-rat
membuat tiga lingkaran konsentris
yang mencakup semua unsur isi kebudayaan. Lingkaran yang berada di pusat atau inti adalah
sistem budaya (kebudayaan yang
tidak tampak). Lingkaran kedua adalah sistem sosial, dan lingkaran ketiga adalah kebudayaan fisik.
Tentang peradaban
Visi pembangunan di Sulawesi Utara yang menjadi bagian dari sistem pemerintahan di Minahasa adalah “terwujudnya masyarakat Sulawesi Utara terdepan dalam peradaban, perdamaian, supremasi hukum, keadilan, dan kemakmuran, … “. Konsep peradaban dalam rumusan visi ini mengacu kepada istilah civilization yang dalam pengertian dasarnya adalah “masyarakat yang memiliki organisasi sosial yang tinggi, dengan kesenian, dan ilmu pengetahuan yang maju”. Konsep peradaban dalam konstelasi kebudayaan sebagaimana usul Kuntjaraningrat (1985: 107) adalah “unsur-unsur kebudayaan yang maju, tinggi, dan halus”. Dengan demikian peradaban masyarakat Minahasa yang dimaksud dalam visi adalah kehidupan masyarakat yang maju, tinggi, dan halus dalam bahasa, sistem teknologi, sistem pengetahuan, sistem ekonomi, organisasi sosial, agama, dan kesenian.
Gambar 1. Kerangka kebudayaan (Kuntjaraningrat, 1985: 106).
C. Sosok
Pembangunan di Minahasa dari
perspektif nilai-nilai budaya
Pendekatan lain untuk memeriksa dan
menilai sosok pembangunan sebagai proses
kebudayaan di Minahasa adalah dengan
menggunakan perspektif nilai budaya.
Takdir Alisjahbana (1985), yang
sering berbeda dengan Kuntjaraningrat, dengan mengacu kepada teori nilai Edward Spranger, mengemukakan bahwa kebudayaan itu yang bergerak kepada dua
arah, yaitu arah progresif dan arah
ekspresif tidak lain adalah
penjelmaan dari nilai-nilai teori,
nilai ekonomi, nilai agama, nilai seni, nilai kuasa, dan nilai
solidaritas. Nilai teori dan nilai
ekonomi merupakan nilai yang
mendorong budaya progresif, sedangkan
nilai agama dan nilai seni mendorong
budaya ekspresif.
Kerangka teori nilai
budaya ini sesungguhnya dapat dipakai untuk
menilai dan mengungkap profil
kebudayaan pembangunan di Minahasa, baik dari segi kualitas, intensitas,
karakteristik, suasana, gaya, dan tipologi kebudayaan.
Ada kemungkinan dua tipos
kebudayaan progresif yang dikuasai oleh nilai teori/ilmu dan nilai ekonomi yang
secara bersama dapat menciptakan teknologi yang dahsyat, pertumbuhan
ekonomi yang tinggi ataupun kedua-duanya, tetapi mempunyai orientasi yang berbeda dalam nilai kuasa, dan nilai solidaritas. Yang satu
mungkin cenderung diktatorial yang dikuasai oleh nilai kuasa, yang lain
cenderung demokratis yang dikuasai oleh
nilai solidaritas.
(a) (b)
T E T E
K
Sol K Sol
S A
S A
Selanjutnya kemungkinan dua tipos
kebudayaan ekspresif yang
muncul yang dikuasai oleh nilai agama dan nilai seni yang dapat
menimbulkan suasana kehidupan masyarakat yang amat kental dengan simbol-simbol
agama dan kesalehan, atau suasana kehidupan yang amat diwarnai oleh
simbol-simbol kesenian yang tinggi. Kedua tipos kebudayaan ekspresif itu juga mungkin
cenderung diktatorial ataupun demokratis
sesuai dengan kuat lemahnya orientasi nilai kuasa dan nilai solidaritas.
(a) (b)
T E T E
K
Sol
K Sol
S A S A
D. Evaluasi dan reposisi strategi kebudayaan
sebagai modal sosial di Minahasa
Pada bagian akhir makalah ini
dikemukakan sebuah usul evaluasi untuk
melihat prospek dan reposisi strategis kebudayaan di Minahasa. Apabila kita sepakati
bahwa strategi pembangunan yang telah
kita rumuskan dalam berbagai dokumen
perencanaan (Pola dasar, Propeda, dan
Renstra) sebagai strategi kebudayaan,
maka kita memang memerlukan evaluasi
kebudayaan yang sementara kita jalankan dan lakoni pada tahun 2002 ini. Pertanyaan-pertanyaan yang dapat kita
ajukan seyogyanya mengacu kepada tiga
wujud kebudayaan, yaitu: gagasan, aktivitas, dan hasil/produk. Pertanyaan-pertanyaan itu juga perlu
dilanjutkan dengan dimensi isi kebudayaan, yang meliputi (1) bahasa, (2) sistem teknologi, (3) sistem
mata pencaharian atau sistem ekonomi, (4) organisasi sosial, (5) sistem
pengetahuan, (6) religi, dan (7)
kesenian.
Di samping itu perlu pula dievaluasi kualitas, kekuatan, dan ketangguhan
tiga basis kebudayaan, yaitu basis material, basis sosial, dan basis
mental kebudayaan sebagai
pusat-pusat pertumbuhan manusia dan perkembangan kebudayaan (Kleden, 1987:
9).
Atas dasar itu dirumuskan strategi
kebudayaan untuk mewujudkan masyarakat di Minahasa terdepan dalam peradaban, ……
etc.
Strategi kebudayaan itu dengan menggunakan
model Soerjanto Poespowardojo (1989: 30)
seperti yang dikemukakan pada gambar di bawah ini, berupaya memini-malisasi
kekerasan yang
bersifat dystopia dan memaksimalisasi perkembangan secara utopis.
Maksimalisasi Utopia
Perkembangan
Dystopia Minimalisasi
Gambar 2. Arah strategi kebudayaan (Soerjanto P.: 1989:
30)
Model
ini mengusulkan bahwa untuk menemukan dan memajukan peradaban yang sejati
maka transformasi sosial, ataupun
“reformasi” dalam wacana politik kebu-dayaan, semestinya menjadi strategi
kebudayaan untuk meminimalisasi kekerasan yang bersumber pada orientasi
pelaku, orientasi struktur, dan interaksi antara pelaku dan struktur.
Johan Galtung (1971)
menawarkan satu strategi
kebudayaan yang berorientasi kepada
pelaku (aktor) dan struktur, serta
interaksi antara keduanya.
Untuk mewujudkan peradaban yang sejati
ada dua nilai kebutuhan dasar pada individu yang menjadi basis
pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan diri, yaitu nilai kebutuhan pemilikan (having) dan nilai
kebutuhan keberadaan (being). Orientasi pelaku adalah (1) pertumbuhan ekonomi
dan (2) pertumbuhan diri. Selanjutnya
orientasi struk-tur adalah (3)
solidaritas bangsa, (4) partisipasi rakyat, (5) pemerataan, dan (6) otonomi. Sedangkan interaksi antara pelaku dan
struktur adalah (7) keadilan sosial, (8) keamanan, dan (9) keseimbangan
lingkungan.
Bagaimana posisi masing-masing nilai yang harus direalisasi dalam
transformasi sosial itu dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Nilai-nilai yang harus
direalisasikan
Unsur P e l a k u Struktur
Strategi
Pemilikan Keberadaan P o l a Relasi
(Having)
(Being)
Meningkatkan
Kemandirian
dan otonomi Pertumbuhan Pertumbuhan Solidaritas Pemerataan
Ekonomi
Diri (3) (5)
(1) (2)
Partisipasi Otonomi masyarakat
(4) (6)
Keadilan sosial (7)
Keamanan (8)
Keseimbangan lingkungan (9)
Sumber :
Soerjanto P. (1989: 27).
Untuk
mencapai peradaban sejati maka perlu meminimalisasi kekerasan pada
orientasi pelaku, yaitu
1. kemiskinan/kesengsaraan pada orientasi pelaku dan
struktur
2. alienasi 7. ketidak adilan
pada orientasi struktur, yaitu 8. ketidak-amanan
3. fragmentasi 9. ketidak-seimbangan lingkungan
4. marginalisasi
5. eksploitasi
6. penetrasi
SUMBER BACAAN
Alfian, ed. 1985. Persepsi masyarakat tentang kebudayaan. Gramedia:
Jakarta.
Galtung, Johan. 1971. A Structural theory ofiImperialism. Journal of Peace Research, Vol.2. h. 81-117.
Kleden,
Ignas. 1987. Berfikir strategis
tentang kebudayaan. Prisma, No. 3
tahun 1987.
h. 3-8
Kuntjaraningrat 1985. “Persepsi tentang kebudayaan nasional”. Dalam Alfian, 1985. Persepsi masyarakat tentang kebudayaan”. Gramedia: Jakarta
Linton, R. 1936. The Study of man, American Book. Newy York.
Malinowski, B. 1944. A Scientific theory of culture and other essays, University of North Caroline, Chapel Hill.
Soerjanto Poespowardojo. 1989. Strategi kebudayaan, suatu pendekatan folosofis. Gramedia: Jakarta.
Takdir Alisjahbana. 1985. “Pembahasan Sutan Takdir Alisjahbana terhadap persepsi tentang kebudayaan
nasional Kuntjaraningrat”. Dalam Alfian, Persepsi masyarakat tentang kebudayaan.
Gramedia: Jakarta.
STRATEGI KEBUDAYAAN MINAHASA
SEBAGAI KAPITAL SOSIAL TOU MINAHASA
Disampaikan
pada
Pelatihan
Pelatih Identitas Budaya Minahasa
29 Juni
s/d 1 Mei 2005 di Kora-Kora
Tondano
Oleh
Max G. Ruindungan
Staf Pengajar
pada Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas
Negeri Manado
MAM-PM-YSN- SUMEKOLA
PUSTAKA WENAS
TOMOHON